Senin, 06 Desember 2010

Selasa, 03 Agustus 2010

Ujian Nasional Tidak Menakutkan,Tapi Memaksakan

Sofyan A Gani, Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh membuat saya merenung dan tersulut untuk membuat sebuah tulisan. Tulisan yang mungkin saja bermanfaat untuk semua bahwa sebenarnya UN itu tidak menakutkan tetapi memaksakan. Pemerintah terlalu memaksakan kehendaknya, sementara masih banyak sekolah yang belum mendapatkan pelayanan yang baik dari pemerintah. Akhirnya terjadilah ketidak-adilan, dimana sekolah dengan pelayanan yang serba wah, diadu dengan sekolah yang masih belum terstandarisasi dengan baik. Bukankah sudah jelas masih banyak sekolah yang belum menjadi sekolah berstandar nasional? Mengapa Ujiannya harus Nasional?

Sebuah pertanyaan yang harus dijawab dengan tuntas, dari berbagai sudut pandang dan berguna dalam memperbaiki mutu pendidikan kita yang sudah tercarut marut ini.

Saya akan menuliskannya dari sudut pandang guru sebagai pengawas silang Ujian Nasional yang setiap tahun berpindah tugas mengawas di setiap sekolah.

Setiap kali diadakan UN, setiap sekolah mempersiapkan dirinya dengan baik. Mulai dari menyiapkan guru yang mampu untuk menjelaskan materi UN, sampai mempersiapkan siswa agar dapat menyelesaikan soal-soal UN dengan baik. Persiapan itu berupa pendalaman materi, ujian try out sampai pembahasan soal-soal UN. Doa bersama pun dilakukan oleh guru, siswa dan orang tua meminta kekuatan dan kemudahan pada Tuhan Pemilik Bumi ini. Dengan adanya UN sekolah-sekolah seperti rumah ibadah yang di dalamnya banyak orang yang berdoa memohon perlindungan dan pengampunan.

Selain hal di atas sekolah juga tak lupa menyiapkan sarana dan prasarana dalam mensukseskan UN, dengan membersihkan tiap kelas yang akan digunakan untuk UN. Adanya UN, ternyata mampu membuat setiap sekolah menjadi lebih bersih dari hari biasanya. Kalau saja diadakan lomba kebersihan antar sekolah, pastilah sulit dicari pemenangnya, karena semua sekolah mempersiapkan kebersihan ini dengan sebaik-baiknya.

Sudah hampir lebih dari 15 tahun penulis merasakan jadi guru pengawas UN. Sudah selama itulah penulis mendapatkan kesempatan mengawas di sekolah lain. Sebuah pengalaman yang berbeda di tiap sekolah bila diceritakan. Karena tiap sekolah mempunyai budaya sekolah yang berbeda.

Bila mengawas di sekolah favorit papan atas, maka penulis mendapatkan tenaga baru untuk bisa juga berprestasi seperti sekolah favorit ini. Namun bila penulis mendapatkan sekolah papan bawah, kami harus bersyukur karena kami mempunyai kelebihan sarana dan prasarana yang tidak dimiliki oleh sekolah itu. Adanya UN membuat kami para guru melakukan studi banding ke sekolah-sekolah dan menjalin tali silahturahmi antar sesama guru. Seperti halnya hidup bertetangga. Kami bisa saling berkomunikasi tentang keunggulan dan kekurangan sekolah kami masing-masing. UN membuat para guru menjadi saling ASIH, saling ASAH, dan saling ASUH. Bukankah silahturahmi itu mendatangkan rezeki?

Pada saat menjadi panitia UN di sekolah sendiri, kami pun akan menjamu guru pengawas dari sekolah lain dengan baik. Sudah menjadi tradisi dan komitmen kami untuk melayani semua teman pengawas dengan baik, sehingga kesan mereka terhadap sekolah kami pun baik. Adanya UN dapat juga menciptakan hubungan yang harmonis antara guru dari sekolah lainnya. Tanpa kami sadari adanya UN turut juga mempublikasikan mutu pendidikan yang ada di sekolah kami kepada para guru pengawas, sehingga mereka mendapatkan pelajaran yang baik dari sekolah kami.

Akhirnya, UN mempunyai dampak positif dan negatif. Namun kalau kita mau jujur, UN lebih berdampak positif bagi sekolah. Hanya saja sistem atau cara dari pemerintah dalam melaksanakan UN yang harus lebih disempurnakan, sehingga mampu mengemas peluang emas ini menjadi sesuatu yang enak untuk dirasakan bersama. Bukan seperti yang terjadi saat ini. Terlalu memaksakan sementara masih banyak yang harus dibenahi di sana-sini. Bahkan mendiknas sudah mengeluarkan pernyataan di media bahwa UN tetap diselenggarakan tahun depan, sementara tahun ini belum lagi di evaluasi.

Nampaknya mahkamah konstitusi harus bisa berlaku adil. jangan sampai peserta didik kita menjadi korban pemaksaan ini. Begitu banyak uang keluar dari dana APBN, janganlah sampai tak sampai tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Proses pendidikan sebaiknya tidak ditentukan oleh UN yang beberapa hari saja. Bukankah rata-rata mereka belajar selama 3 tahun? Adanya UN justru terus memancing pro dan kontra di antara kita yang menginginkan pendidikan ini menjadi lebih baik. Adanya UN pun membuat guru kehilangan legitimasinya karena bimbingan belajar (bimbel) akan mengatakan bahwa berkat bimbingan merekalah anak-anak ini lulus dengan nilai UN yang tinggi. Lalu dimana peran guru?

Kegiatan UN ternyata juga membuat banyak pihak stress. Mulai dari kalangan siswa itu sendiri, guru, orang tua hingga seluruh elemen sekolah tersebut. Mengapa? Adanya UN seolah-olah menentukan kredibilitas sekolah itu. Padahal UN bukanlah alat penentu kredibilitas sebuah sekolah.

Seharusnya, pemerintah harus lebih profesional dalam menangani masalah dunia pendidikan kita yang salah satunya adalah UN agar tidak terjadi lagi berbagai macam masalah dan keributan yang terjadi dalam kurun waktu ini. Mutu sekolah, guru, dan lain sebagainya harus dibenahi terlebih dahulu. Tapi yang jelas Mutu pendidik harus OK dulu. Jangan sampai ada guru yang mengajar UN, malah justru tidak bisa mengerjakan soal UN.

Ingatlah, sesuatu yang dipaksakan itu tidak baik. Mengapa kita tak merenung barang sejenak, dan mengevaluasi kembali dengan harapan di tahun depan ada perbaikan yang terasakan untuk peserta didik kita.

UN memang diperlukan, tetapi pembenahan sekolah dengan berbagai fasilitasnya harus dipenuhi dulu oleh pemerintah. Jangan sampai terlihat, pemerintah terlalu memaksakan kehendaknya sendiri dan menjadi tuli dengan kondisi yang ada. UN harus menyenangkan dan bukan menegangkan sehingga menjadi menakutkan bagi para guru, siswa, dan orang tua. Kalau sudah begitu, buat apa sekolah kalau cuma mengejar nilai UN yang hanya mengejar aspek kognitif itu.